Iklan Ali Prakosa

Mengenal Sosok Tirto Adhi Soerjo, Perintis Pers Nasional

Tirto Adhi Soerjo

Tirto Adhi Soerjo

“Tuan Tirto Adhi Soerjo. adalah induk jurnalis bumiputera di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” tulis Mas Marcodikromo dalam artikel bertajuk “Mangkat” yang dimuat surat kabar Djawi Hisworoedisi 13 Desember 1918.

Lenteramojokerto.com – Raden Mas Djokomono atau Tirto Adhi Soerjo, adalah seorang pelopor dan perintis pers Nasional dan kebangkitan bangsa Indonesia. Ialah sesosok bangsawan jawa yang terus berjuang membela kaum pribumi dari penjajahan melalui media pers-nya yang bernama “Medan Prijaji”. Tak hanya itu, dia juga pendiri organisasi moderen pertama antaranya, Sarikat Prijaji, Sarikat Dagang Islamiyah yang berkembang menjadi Sarikat Islam, penyeru perhimpunan wanita yang kegiatanya berkisar disekeliling Poetri Hindia 1908. Sepak terjangnya inilah yang membuat Pramoedya Ananta Toer menulis karya “Sang Pemula” dan menginspirasi beliau dalam karya Novelnya di seri “Tetralogi”.

Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo

Djokomono atau yang lebih dikenal dengan Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880. Gelar raden mas menandakan bahwa Djokomono adalah putra atau cucu bupati dan masih terhitung keturunan raja-raja di Jawa. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, menjabat Bupati Bojonegoro dan penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Sedangkan dari pihak nenek, ia mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta.

Selesai menamatkan pendidikan dasarnya di Rembang, Tirto melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS), Betawi. Setelah lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter Bumiputra, yakni School Tot Opleiding Artshen (STOVIA), di Batavia.

Tirto mulai menulis sejak awal masuk sekolah STOVIA. Beliau kerap mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka seperti Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi. Kecintaan terhadap dunia tulis menulis membuat Tirto gagal menamatkan sekolah dokternya.

Tirto sempat menetap di Bandung saat bekerja untuk Pewarta Priangan. Ia kembali ke Batavia setelah surat kabar itu bangkrut, kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur. Kariernya di koran ini melesat cepat. Pada 1901, ia sudah menjadi redaktur kepala, dan setahun berselang, ia dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi.

Semasa di Pembrita Betawi, Tirto belajar dari Karel Wijbrands, jurnalis senior yang juga pemimpin redaksi Niews van den Dag. Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula (2003) mengungkapkan hubungan ini amat intensif walaupun hanya berlangsung beberapa bulan. Tirto mengambil banyak pelajaran dan pengetahuan dari Wijbrands.

Berkat segenap saran Wijbrands, Tirto kemudian menerbitkan Soenda Berita pada 1903. Inilah salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra, siapa lagi kalau bukan Tirto Adhi Soerjo.

 

Tirto Adhi Soerjo dan Medan Pertempuran

Pada tanggal 7 Februari 1903 lahirlah platform perlawanan dari Tirto yang berbentuk surat kabar bernama “Soenda Berita.” Koran ini merupakan koran pertama Indonesia yang bermodal dan berisikan tenaga-tenaga bumiputera sendiri. Dengan label “Kepoenyaan Kami Pribumi” menunjukan kemandirian Soenda Berita.

Soenda Berita menjelma sebagai semangat dan arah gerak tirto dalam memberikan informasi terhadap masyarakat pribumi, dan juga cita citanya dalam memperjuangkan bangsanya.

Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial. Antara 1905-1906, Tirto melakukan perjalanan panjang ke luar Jawa untuk menggalang dana, namun justru berdampak fatal terhadap korannya tersebut. Soenda Berita seperti kehilangan induk dan akhirnya berhenti terbit.

Bangkrutnya Soenda Berita tak menjadikan sepak terjang Tirto melemah, pasalnya setelah itu Tirto menggagas “Medan Prijaji” yang juga ia bertindak sebagai Editor dan Administator Mingguan.

Penerbitan Medan Prijaji memperoleh bantuan dari bangsawan lokal dan saudagar anak negeri. Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” resmi berbadan hukum. NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.

Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan seoalh menjadi medan Tirto untuk bertempur. Dengan dua “Pedang”-nya inilah menjadikan Tirto menjadi orang pribumi pertama yang menggunakan kuasa media untuk melakukan penyuluhan rasa kesadaran berbangsa bumiputra dan pembelaan masyarakat pribumi yang tertindas, atau dalam istilah sekarang “Jurnalisme Advokasi”.

Bahkan sejak era Pembrita Betawi dan Soenda Berita, cukup banyak pejabat, baik dari kalangan kolonial maupun pribumi, yang—dalam istilah Marco—muntah darah akibat tulisan-tulisan tajam karyanya.

Adapun salah satu contoh tulisannya seperti berikut :

“Dari Ponorogo, Madioen, orang toelis bahoewa toean fisikal Raad van Justitie di Semarang soeda dateng di sana aken priksa pengadoewaan Kandjeng Raden Mas Adipati Broto Dhi Ningrat, regent pensioen jang ada tinggal di Djokjakarta. Paperikunan toewan Biskal ini soeda di tanja oleh toewan biskal itoe. Kabar-nja dalem ini hal ada tersangkoet soerang Mentri Polisi, anaknja seorang Patik, jang soeda terdakwa bli saksi palsoe, sementara doro Mantri itoe soeda di koerniakan pangkat assisten wedono, boekan dari toewan biskal, tetapi dari pamarentah di Madioen, jang tida taoe sedikietpoen atas hal peprikasaan Justitie ini. Moedah-moedahan vrouwe Justitie membri poetoesan jang adil, sebab kaloe blon ada poetoesan jang adil, boleh djadi pri di residenti ini masi koesoet sadja soedah tentoe kadoewa fihak jang dakwa dan jang terdakwa itoe tiada enak-enak makan dan tidoer, lain sekali doengan Bintang Semarang aken menjelma Hoekoem Hindia jang sring moeat hal pekabaranja perkaranja Reg. Med. Pensioen itoe, bahoewa jang poenja perkara tinggal enak-enak, orang lain toeroet tjampoer. (17 Mei 1902)” – Sumber Sang Pemula.

 

Akhir Kisah Sang Pemula

Tajamnya kritik dari Tirto kepada pejabat dan kolonial mengantarkan Tirto kepada akhir kisah perlawanannya. Pada tahun 1909 melalui Medan Prijaji Tirto secara habis habisan membongkar skandal kecurangan pemilihan lurah di daerah Pekalongan yang melibatkan penjabat daerah yang bernama Simon. Keberatan dengan tulisan Tirto karena merasa nama baiknya dicemarkan, Simon membawa perkara ini ke meja hijau. Sehingga majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Tirto untuk diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.

Sepulangnya dari pembuangan yang pertama itu, Tirto tidak kapok. Tirto terus melontarkan kritik lewat tulisan setiap kali menemui atau memperoleh laporan tentang kesewenang – wenangan pejabat.

Hingga akhirnya, Tirto kembali harus berurusan dengan jejaring hukum kolonial pada 1912 yang mengantarkan ke tanah pengasingan untuk keduakalinya. Tirto kali ini dibuang ke tempat yang lebih jauh: Maluku.

Tirto Adhi Soerjo pulang ke Betawi (Jakarta) pada 1914 setelah melakoni hidup sebagai manusia buangan di Maluku. Sebelum diasingkan ke Maluku, Tirto nyaris bangkrut. Seluruh aset dan hartanya terancam disita negara lantaran utang-utangnya yang menumpuk.

 

Tirto tak sanggup tegak lagi. Tidak hanya harta yang ludes kehidupan Tirto setelah pengasingan terus mendapatkan sorotan dari pihak pemerintah dan kolonial. Kehidupan Tirto di kediamannya ibarat Rumah Kaca yang terus mendapatkan pantauan. tindak-tanduknya selalu diawasi mata-mata kolonial.

Tirto mengalami depresi berat selama bertahun-tahun. Mental dan kesehatannya terus menurun. Bahkan dikabarkan, Tirto nyaris kehilangan ingatan alias gila lantaran penderitaan fisik dan batin yang menyerang dari mana-mana dan berlangsung terus-menerus.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Trending