Hari berganti malam. Ditengah suasana langit yang mulai diselimuti gelap itu, terlihat seorang pria agak tua sekira 50 tahunan umurnya, menekan skakel lampu agar warung kopinya tempat mengais rejeki tambahan tidak ditelan gelap malam. ‘Klek’ bunyi skakel yang mulai berubah posisi disambut cahaya mulai benderang menerangi warung Pak Budi, sapaan akrab pemilik warung kopi yang berdiri sendiri sudut area Kampus.
Se-sederhana itu rutinitas dari Pak Budi. Selepas bekerja sebagai satpam di kampus yang sama, selalu ia bergeser menemani istrinya menjaga warung untuk menambah pemasukan. Ya, pria ini selalu berfikiran agar memanfaatkan waktu untuk hal yang produktif. Bahkan, waktu luang selepas bekerja ia selalu kembali bekerja dengan menjajakan kopi dan gorengan. Tentunya apa yang diperbuatnya tak lepas dari kesadaran jika honor yang ia dapat dari membantu warga kampus untuk menyebrangi jalan tak cukup untuk membuat kompor didapur rumah untuk tetap mengebul. Daripada bingung akan hal itu, diungsikanlah dapur itu kedalam kampus. Mungkin sedemikian simpel logika yang mencuat dalam benaknya.
Pak Budi pun melangkah ke istri dan anaknya yang duduk dimeja depan.
“Rame ta buk mau awan,” tanya Pak Budi ke istrinya.
“Sepi pak, iki mau ae oleh mek 20.000 tok, padalan warunge tak bukak ket jam 8 isuk,” jawab istrinya.
“Hemm, disyukuri ae buk. Ancene alame koyok ngene, wong arek-arek seng kuliah ae jek akeh seng gak mlebu soale,” ucap Pak Budi menenangkan istrinya.
“Lapo pak kok gak dilebokno yo arek sekolah, padalan wes setahun punjul,” tanya istrinya.
“Soale sek onok pandemi covid-19 buk, adine arek seng kuliah online kabeh gawe internet. Seng nang kampus yo arek organisasi ambek arek seng kate lulus,” jawab Pak Budi sepengetahuannya yang terbatas.
“Nggetune le, lapo sampean iku,” tanya Pak Budi kepada anakanya.
“Ngerjaaken tugas pak, engken terakhir dikumpulaken kok,” jawab anaknya yang masih duduk di bangku SMP.
“Oh iyo, kerjakne seng temen le, sekolah seng pinter mene cek dadi wong seng sukses,” balas Pak Budi.
Istri pak budi tersenyum melihat kebahagiaan yang nampak didepannya. Rasa kasih sayang seorang bapak terhadap anaknya sedikit membuat istri Pak Budi melupakan masalah finansial yang semakin menekan rumah tangganya. Namun, mendengar ucapan ‘Sukses’ membuat ia teringat kenangannya puluhan tahun bersama suaminya saat membuka warung ini.
“Oh iyo pak sampean jek eleng arek lanang cilik rambute dowo bien ta, sak iki dadi DPRD yo,”
Pak Budi pun mencoba mengingat sosok yang dimaksudkan istrinya, “Oh iyo iling-iling, sopo iko yo jenenge, arek iku bien jek ndue utang kopi, gorengan, rokok eceran nang aku,”
“akeh buk seng dadi pejabat, na wes dadi yo lali kabeh sak utang-utange, hahaha,” canda Pak Budi.
“Hahaha iklasne ae pak, dibakne wes suwe yo kene mbukak warung iki,” kenang Istri Pak Budi.
“Iyo buk, puluhan tahun yo jek tetep bertahan. Alhamdulillahe yo sek urip,” balas Pak Budi.
“Yo tetep uriplah pak, mosok kate gak urip sampean iku ono-ono ae,” ucap sang Istri sambil menepuk punggung pak Budi.
Obrolan dan candaan Pak Budi dan Istrinya seketika dihentikan dengan teriakan anaknya.
“Mari, Alhamdulilah tugase pon mari pak,”
“wih manteb, pon dikirimi nang bu gurue ?” tanya pak budi.
“Sampun pak,” jawab anaknya.
“ya wes ndang mantok istirahat mbek Ibuk,”
“Wes buk tak gentenane nungguk warunge,” ucap Pak Budi.
“Nggeh pak,” jawab Istri dan Anak Pak Budi.
Istrinya dan anaknya pun beranjak dari kursi kayu tempat mereka duduk menuju dapur. Sang Istri memasukan air kedalam panci dan menyalakan kompornya, sedangkan anaknya membantu ibunya berkemas beberapa barang dan menaruhnya sebagian ke motor matic yang terparkir disebelah warung.
Air dalam panci sudah mendidih, sang istri menyobek sesaset kopi untuk dihidangkan ke suami. Anaknya pun mengambil motor dan menghidupkannya sambil menunggu ibunya.
“Niki pak kopi cek gak ngantuk,” ucap sang Istri sambil melempar senyum ke Pak Budi.
“Oalah buk mau tak gawe dewe ae,” ucap pak Budi dengan hati yang berbahagia.
“Kulo pamit mantuk sek pak,” ucap Istri pak Budi sambil menyodorkan tanganya.
“Ati-ati,” balas pak budi sambil membalas tangan sang istri.
Istrinya pun mencium tangan Pak Budi. Anaknya yang hampir lupa berpamitanpun langsung menendang jagang motor dan berlari ke bapaknya untuk sekedar mencium tangan ayahnya.
Pak Budi kembali menuju kursinya untuk kembali bersandar. Kakinya pun diangkat dan diselonjorkan diatas kursi kosong bekas duduk anak dan istrinya. ‘Beruntungnya aku dikaruniai tuhan dengan keluarga kecil ini. Meskipun tak banyak harta, hidup dalam kesederhanaan namun mereka bisa mengerti. Begitupun kebahagiaan itu, tetap setia menemani dan tak pernah pilih kasih untuk hadir di keluarga yang tak punya ini,’ ucap Pak Budi dalam hati.