Opini– Kasus pelecehan seksual di lingkup perguruan tinggi (Kampus) memang masih menjadi momok yang tak kunjung usai. Tak sedikit kasus kekerasan seksual yang dilakukan civitas akademika, baik itu mahasiswa maupun dosen, bermunculan. Tak sedikit pula, kasus tersebut tidak nampak, entah terbungkam atau dibungkam.
Dalam laporan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang ditujukan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukan, kasus pelecehan seksual tertinggi berada dilingkup kampus dengan 14 laporan. Disusul dengan Pondok pesantren yang menduduki posisi ke dua dengan 10 kasus, dan 8 kasus berasal dari jenjang pendidikan SMA/SMK dan 4 kasus dari SMP.

Bahkan dalam laporan testimoni para penyitas kekerasan seksual yang berhasil dihimpun Tirto, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post dalam program kolaborasi yang bertajuk #NamaBaikKampus menyampaikan, sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019, sebanyak 207 orang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Dari angka diatas, sebanyak 174 kasus pelecehan seksual berhubungan dengan perguruan tinggi.
Kasus pelecehan tersebut terjadi oleh civitas akademika yang terjadi dalam kampus, maupun diluar kampus disaat kegiatan kemahasiswaan seperti, Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, atau acara kemahasiswaan.
Pelecehan seksual tersebut, tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 kampus. Sekitar 88 persen kasus pelecehan seksual, berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa. Semarang dan Yogyakarta menjadi dua kota dengan jumlah penyintas paling banyak.